Harland Sanders gemar berganti pekerjaan sejak muda. Ia pernah bekerja sebagai buruh tani dan kondektur trem, mengoperasikan kapal uap yang melintasi sungai di Ohio, hingga menjadi relawan Angkatan Darat Amerika Serikat. Namun, seluruh pekerjaan yang ditekuninya itu tidak memberikan dampak besar. Hingga pada akhirnya, tahun 1930 di Corbin, Kentucky, Sanders memutuskan untuk membuka restoran di salah satu pom bensin dengan menjual ham dan steik kepada pada supir truk yang mampir. Sanders terus berinovasi, ia menciptakan menu baru di restorannya yaitu ayam goreng. Selama bertahun-tahun, ia mencoba resep ayam goreng dengan 11 ramuan rempah, hingga tahun 1935 produknya mampu diterima dan disukai oleh pelanggannya.
Ayam goreng buatannya laris dan dibicarakan banyak orang, hingga akhirnya Gubernur Kentucky Ruby Laffoon mengeluarkan dekrit seremonial untuk memberikannya pangkat ‘Colonel’. Sejak itu, nama Sanders lebih akrab dikenal dengan Colonel Sanders. Bisnisnya terus meningkat, akhirnya tahun 1952, seorang temannya membeli waralaba pertama dari bisnis ayam gorengnya. Sanders pun menjual propertinya untuk berkenala ke berbagai negara, menjual waralaba bisnisnya yang kini semakin mendunia. Bisnisnya adalah Kentucky Fried Chicken (KFC).
Apakah kamu pernah mendengar cerita sejenis? Yap! Cerita tersebut menjelaskan tentang perjalanan bisnis Harland Sanders, seorang pengusaha ayam goreng asal Amerika Serikat. Namun, cerita tersebut bukan hanya sekadar ‘cerita perjalanan bisnis’, tetapi juga ada unsur promosi di dalamnya. Teknik promosi jenis ini biasa kita kenal dengan storytelling.
Dewasa ini, KFC bukanlah satu-satunya brand yang menggunakan teknik storytelling untuk mempromosikan produknya. Steve Jobs dengan Apple, Jack Madengan Alibaba, hingga David Ogilvy dengan Ogilvy juga telah melakukan teknik yang sama. Ketika teknik promosi hard-selling mulai kurang diminati pelanggan, teknik storytelling mulai ramai digandrungi para pemasar untuk menciptakan cerita di balik produk mereka.
Teknik storytelling memang jauh lebih menarik ketimbang hard-selling. Biasanya, hard-selling fokus memberikan informasi seputar produk, sedangkan storytelling mengajak pelanggan menelusuri lebih jauh tentang produk yang akan mereka konsumsi atau gunakan. Tak hanya itu, storytelling juga membantu pelanggan lebih mengikatkan diri dengan brand kita.
Berikut ini, Sanoebari akan memberikan 5 formula yang menjadi struktur dalam sebuah storytelling yang baik!
Sudah membaca cerita sampai berpuluh-puluh halaman, tapi nggak ada kemajuan? Pernah merasakan hal tersebut? Mungkin itu karena cerita yang kamu baca tidak memiliki tujuan tertentu dalam plotnya. Plot adalah sebuah susunan adegan yang akan membawa khalayak menjelajahi cerita dari awal sampai akhir. Seperti halnya cerita Colonel Sanders di atas, kamu bisa mengetahui perjalanan Sanders mulai dari menjadi buruh tani hingga pengusaha ayam goreng. Plot yang tak bertujuan akan membuat khalayak bosan sekaligus bingung. Hal itu hanya akanmembuang-buang waktu, karena kita tidak tahu ke mana cerita kita akan berakhir. Sebagai langkah awal storytelling, ada baiknya kita memulai dengan menentukan plot terlebih dahulu. Perjalanan seperti apa yang akan kita buat? Bagaimana awal dan akhirnya? Apa tujuan dari cerita tersebut? Jangan lupa sisipkan juga twist dan teka-teki untuk membuat khalayak penasaran. Jika tujuan kita adalah untuk memasarkan produk, buatlah produk tersebut menjadi ‘hidup’ dengan menjelaskan pula latar belakang serta perjalanannya dari titik nol hingga sampai pada tahap sekarang.
Pernah membaca satu kutipan atau cerita yang akhirnya membuat kamu berpikir “wah, gue banget nih”? Bagaimana kesan kamu terhadap kutipan atau cerita itu? Pasti lebih mengena, bukan? Sejatinya, cerita yang baik adalah yang mampu membuat orang-orang ‘terhubung’ dengannya. Namun, ini bukanlah sebuah keharusan. Biasanya, ketika kita membaca sebuah cerita yang dekat dengan keseharian kita atau mungkin yang pernah kita alami, kita kan merasa lebih tertarik dan tersentuh dengan cerita tersebut. Misalnya, cerita yang bukan hanya menyajikan kesuksesan, tapi juga kegagalan. Itu mengapa, banyak cerita tentang produk yang tak luput menyisipkan pengalaman kegagalan mereka, karena dari sanalah khalayak akan lebih simpati untuk mengikuti perjalanan produk hingga sukses seperti saat ini.
Salah satu unsur yang biasa kita temukan dalam cerita adalah tokoh. Tokoh ini bisadirepresentasikan dengan manusia, ikon, maupun produk itu sendiri. Untuk membuat tokoh yang terkesan ‘hidup’, kita bisa menggunakan teknik tiga dimensi.Buatlah tokoh tersebut tak hanya mengikuti plot yang sudah kita susun, tapi juga memiliki ‘suara’ dalam dirinya. Jika tokoh kita seorang manusia, buatlah dia menyuarakan pemikirannya (atau pemikiran kita sebagai pemasar yang direpresentasikan melalui dirinya). Pun, jika tokoh kita sebuah produk, jangan lupa suarakan nilai brand yang kita miliki agar khalayak memiliki persepsi seperti apa opini yang dimiliki brand kita. Target khalayak kita adalah manusia, benar kan? Oleh karena itu, kita pun harus menciptakan tokoh yang juga ‘bersuara’ seperti manusia.
Jika ditanya “Iklan apa yang membuat kalian tersentuh?” mungkin beberapa dari kalian akan menjawab iklan asuransi Thailand. Sudah menjadi rahasia umum bahwa iklan-iklan Thailand memiliki ciri khas tersendiri, yaitu storytelling yang menyentuh. Para pemasar fokus membentuk cerita yang kuat untuk memasarkan produk mereka, sampai-sampai si calon pelanggan hanyut ke dalam cerita tersebut hingga akhirnya mereka menyadari bahwa yang barusan mereka tonton adalah sebuah promosi produk. Dalam sebuah cerita, memainkan emosi khalayak adalah unsur yang tak boleh dilewatkan. Emosi tak hanya berbentuk kesedihan, tapi juga bahagia, semangat, hingga amarah. Melalui emosi, khalayak dapat menyelam ke dalam cerita, hingga akhirnya merasa terkoneksi dan tertarik untuk membeli produk kita.
Mana yang lebih kalian suka? Cerita dengan plot yang fokus pada tujuan dan dituturkan dengan sederhana atau cerita dengan banyak plot dan dituturkan dengan rumit? Tentu, pilihan jatuh ke cerita yang pertama. Bukan berarti kamu tidak bisa menciptakan cerita dengan banyak plot, hanya saja cerita yang fokus dan sederhana lebih mudah menarik seseorang ketimbang yang rumit. Kembali lagi, jika tujuan kita adalah mempromosikan produk, kita harus bisa membuat pesan produk yang rumit menjadi sangat sederhana hingga mudah diingat khalayak. Sometimes, minimalism works better.
Sekian formula rahasia menciptakan storytelling yang baik a la Sanoebari! Gimana? Tertarik untuk mencoba teknik storytelling dalam memasarkan produk kamu? Jika kamu membutuhkan rekan untuk merumuskan storytelling bisnis kamu,Sanoebari akan siap membantu! Just drop us a message and let’s discuss!